Monday, August 10, 2020

Jangan Biarkan Sendirian dan Jangan Dibiarkan Sendiri

Catatan kecil.  Sabtu, 26 Mei 2018. 

----------------

Sang waktu belum lagi masuk  subuh.  Ahad, 20 Mei 2018.   Hari kelima Ramadhan.  Tepat jam 04.20.  Selepas makan sahur, saya bergegas keluar rumah.  Sejurus kemudian, saya pacu sepeda motor menuju arah Barat Selatan.   Tujuannya dusun Tiban, Sendangmulyo.


Entah mengapa, sehabis makan sahur waktu itu, tiba-tiba terbersit keinginan untuk melihat dan mengunjungi satu-satunya musholla  di dusun Tiban.  Tidak ada maksud apa-apa.  Tiba-tiba muncul begitu saja. 


Melewati  bulak panjang di  tengah luasnya persawahan.  Menembus dingin dan senyapnya  jalan  dusun.   Merasakan sunyi dan senyapnya hawa fajar,  waktu  itu.  Namun segar luar biasa.


Lamat-lamat terdengar kumandang adzan subuh dari kejauhan di seberang dusun.   Butuh waktu tak lebih dari 5 menit, akhirnya saya sampai pada tujuan, sebuah musholla di pinggir jalan dusun, Utara lapangan Tiban, Sendangmulyo.  


Musholla minimalis.  Berwarna menyolok hijau terang.  Sebuah banner nama terpasang di depan musholla.  Pojok sebelah Selatan.  Dan tahulah saya bahwa nama musolla itu : AL IKHLAS.


Setelah memarkir motor, saya bergegas masuk ke dalam. Saya sempat ragu-ragu.  Karena pintu teras dan pintu musholla masih dalam posisi tertutup.  Dan musholla masih kosong.  Belum ada orang.  


Akhirnya, saya sampai di depan pintu musholla.  Saya memberanikan diri.  Handle pintu saya pegang dan saya dorong.  Alhamdulillah.  Ternyata pintu tidak terkunci.  Setelah mengucap salam, segera saya menghambur masuk ke dalam.


Saya menyapu pandang ke semua arah.  Ruang dalam nampak bersih, tak berdebu.  Tanda terawat.  Di ujung kiri, sebelah Utara, nampak lemari kayu terbuka berisi beberapa buah kitab dan beberapa lembar mukena.  Di sebelahnya nampak sebuah meja yang mungkin difungsikan sebagai mimbar.  Sedangkan di kanan sebelah Utara, nampak mikrofon tertempel di pojok dinding.    


Saya berinisiatif, akan mengumandangkan adzan subuh.  Tapi mikrofonnya tidak bisa nyala.  Karena ternyata, ada saklar khusus untuk menghidupkannya.   


Selang tidak berapa lama, datanglah seorang ibu dan disusul kemudian seorang bapak.  Kamipun kemudian berjamaah sholat subuh bertiga.  Hanya bertiga.  Selepasnya, setelah masing-masing kami menyelesaikan dzikir, kamipun mengadakan diskusi subuh.  Bukan kuliah subuh.  


Kamipun terlibat pembicaraan yang santai dan ringan.  Diskusi kami, mengalir saja, begitu rupa.  Saling berbagi cerita, berbagi pengalaman.  Sampai akhirnya, saya mengetahui bahwa bapak dan ibu tersebut adalah sepasang suami istri, pemilik musholla Al Ikhlas tersebut.  Yang suami bernama pak Jarwadi.  Istrinya bernama Bu Prapti. 


Mereka baru pindah dari Semarang, 2 tahun lalu.  Juni 2016.  Sebenarnya, mereka asli dari Minggir.  Oleh karena memenuhi hidup, mereka berdua  "ngasta" guru pada  sekolah yang berbeda, di tempatkan di Semarang.  Dan akhirnya pun  menetap di Semarang.  


Ada yang menarik dari mereka berdua.  Ternyata, sebelumnya, mereka berdua beragama Katolik.  Pun juga ketiga anaknya,  semua beragama Katolik.   Keluarga besar mereka juga pemeluk Katolik.  Bahkan di Semarang, Pak Jarwadi merupakan "koordinator" umat Katolik di 5 kecamatan di Semarang.  


Sampai pada suatu ketika,  terjadilah sebuah keajaiban.  Bermula dari obrolan bu Prapti dengan temannya sekantor.  Tiba-tiba, Bu Prapti menyatakan ketertarikannya kepada Islam.  Sampai pada suatu saat, hidayah itu muncul.  Bu Prapti menyatakan kepada temannya, bahwa dia ingin  pindah agama, memeluk Islam.  


Mendengar niatan itu, sang teman kemudian menyarankan untuk mengajak  berkonsultasi dengan seorang koleganya, yang juga pengurus Muhammadiyah di Semarang.  Singkat cerita, akhirnya sang Ibu, akhirnya mengucap syahadat.  Dan diikuti oleh sang suami, beberapa saat kemudian.  Dan diikuti pula oleh ketiga anak-anaknya.  


Atas saran dari kolega-koleganya,  pengucapan syahadat  1 keluarga ini dilakukan ulang di masjid Baiturahim Semarang, disaksikan oleh  jamaah. 


Dan mulailah babak baru kehidupan  mereka.  Mulai pula  cobaan  menguji keteguhan mereka.  Cercaan, cemoohan dari komunitas lama.  Sekaligus pula, sindiran dan kecurigaan dari komunitas baru.  Silih berganti. 


Namun, Allah yang Maha Adil, selalu akan memberi jalan bagi hamba Nya.  Di tengah ujian yang datang dan pergi itu, Allah memberi penawar dan penyejuk hati.  


Simpati dan empati dari saudara-saudara seiman muncul untuk menyemangati dan mengobati.  Menjadikan semakin kokoh dan kukuhnya pendirian dan keyakinan mereka akan pilihan hidupnya.  


Hari berganti,  pekan berjalan,  bulan dan tahun berlalu.  Tak terasa kedua suami istri inipun akhirnya purna tugas.  Setelah 42 tahun menjadi penduduk Semarang, muncul keinginan untuk kembali ke kampung halaman.  


Mereka sadar bahwa tentu resikonya akan jauh lebih besar.  Pulang kembali ke tanah kelahiran, ke keluarga besar dengan kondisi yang jauh berbeda dari sebelumnya.  Apalagi hidup dalam lingkungan yang berbeda dalam posisi minoritas.  Bahkan sangat minoritas.


Tapi keputusan tetap harus diambil.  Apapun resikonya.  Pada Juni 2016, mereka pindah kembali ke kampung halaman.  Menetap di dusun Tiban. Dan mendirikan musholla Al Ikhlas itu. 


Sekarang, mereka dan masih banyak saudara kita mualaf yang lain,  telah berada di lingkungan kita.  Menjadi keluarga besar umat Islam di Minggir ini.  Menjadi salah satu organ dari keutuhan sistem tubuh kita.  


Kita berkewajiban untuk merangkul mereka.  Jangan biarkan mereka sendirian dan dibiarkan sendiri. 


Bahasa Jogja yang pas untuk menggambarkannya adalah : kita musti ngaruhke, ngarahke dan ngerahke.  


Agar mereka bisa merasakan kebenaran akan pilihan hidup mereka.  Agar mereka  bisa merasakan tentram dan indahnya menjadi seorang muslim.  Muslim yang yang menjadi mawar, melati atau apapun jenis bunganya,  di tengah indah dan sejuknya taman bunga.  


Wassalam.

(**)

Sebelumnya
Berikutnya

Penulis:

1 comment:

  1. Namun siapa sangka, bangunan musholla skrng sdh rata dengan tanah.. tak bisa untuk berkumandang adzan

    ReplyDelete