“Dan janganlah kamu merasa
hina dan janganlah kamu bersedih padahal kalianlah yang paling tinggi jika
kalian beriman”. (Ali Imran : 139)
“Dan janganlah kalian berputus
asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidak orang berputus asa itu melainkan kaum
yang kafir”. (Yusuf : 87)
Rasulullah saw. Bersabda,
artinya, “Sesungguhnya Allah mencintai sikap optimis dan membenci sikap putus
asa”
Dalam kelelahan, ketegangan
dan kekalutan, kaum muslimin masih memiliki secercah harapan meraih kemenangan.
Itulah yang terjadi pada saat kaum muslimin dikepung oleh pasukan Ahzab. Bahkan
dalam situasi yang menegangkan dan jauh dari perhitungan untuk menang itu,
mereka masih berkata:
“Inilah yang dijanjikan Allah
dan Rasul-Nya. Maha Benar Allah dan Rasul-Nya. Tidaklah bertambah dalam diri
mereka kecuali keimanan dan kepasrahan pada Allah SWT.”
Dalam kesiapan penuh,
menghadapi kepungan musuh dan kondisi medan yang begitu berat, Rasulullah saw.
memompa semangat dengan menjanjikan bahwa mereka akan dapat menundukkan Romawi,
Persia, Iskandariyah dan negeri-negeri lainnya.
Akhirnya kaum muslimin
mendapatkan kemenangan pada perang Ahzab tersebut tanpa pecahnya peperangan
lazimnya, dan Allah swt. membuktikan janji-Nya menaklukkan negeri-negeri besar
pada masa pemerintahan Umar bin Khathab RA. Lihatlah pula nasihat yang teduh
bagai air di padang pasir, taujih dan janji Rasulullah saw. yang amat
menyejukkan hati keluarga Ammar bin Yasir: “Sabarlah wahai keluarga Yasir
tempat yang dijanjikan Allah bagimu adalah syurga.”
Seuntai kalimat dari seorang
murabbi, pemimpin mampu meredam sakitnya penderitaan, menahan gejolak kesakitan
dan membangkitkan semangat berbuat, meski tidak dapat merayakan kemenangan.
Perjalanan hidup umat teladan,
hendaknya menginspirasi aktifitas yang kita lakukan saat ini. Betapa banyak
pengalaman mereka dapat kita jadikan cermin hidup agar rambu-rambu perjalanan
menjadi jelas dan terang. Seperti jelasnya perjalanan generasi terbaik dalam
sejarah umat ini sehingga mereka mendapatkan harapannya di dunia dan akhirat
tanpa takut kerugian sedikit pun.
Kemenangan umat terdahulu
banyak kita temukan bermula dari optimisme yang tinggi untuk meraih kemenangan.
Optimisme yang stabil menghantarkan mereka cepat atau lambat menuju
kegemilangan. Karena optimisme bagian dari kemenangan itu sendiri. Baik
kemenangan di dunia ataupun di akhirat. Optimisme orang-orang beriman sangat
melekat pada jiwanya karena mereka yakin akan firman Allah:
Bahwa mereka bersama Allah
swt. Dengan kebersamaannya itulah mereka meyakini perbuatannya, proses dan
prosedurnya serta keberhasilannya mencapai kesuksesannya.
Dengan optimisme itu segala
yang berat menjadi ringan, yang susah menjadi mudah dan yang rumit menjadi
sederhana.
Ketika optimisme sudah merasuk
ke jiwa maka dorongan besarlah yang muncul, dorongan untuk melakukan sebuah cita-cita
agar meraih kejayaan. Ketika seorang sahabat bertanya pada Rasulullah saw.:
“Bagaimana nasib saya bila
maju ke medan peperangan yang sedang berkecamuk itu’, beliau menjawab: ‘kamu
akan mendapatkan syurga’ maka sahabat itu segera maju ke depan bahkan membuang
kurma yang sedang dikunyahnya seraya bergumam: ‘ini akan memperlambat saya
mendapatkan syurga.” Subhanallah begitulah sebagian dari kisah generasi
teladan.
Saat optimisme membumbung
tinggi dalam sanubari seorang mukmin, ia
akan bergerak, bersikap, berjalan dan berkorban meskipun ia belum tentu dapat
merasakan nikmatnya kemenangan. Karena sesungguhnya, dengan jiwa optimis itu
mereka sudah mendapatkan kemenangan yang sesungguhnya. Paling tidak ia
terdorong untuk memberikan sumbangsih mulianya demi keyakinan yang ia imani. Ia
berharap agar Allah swt mencintai sikapnya dan ridho dengan perjuangannya:
Saat ini, hal-hal yang
menghadang perjalanan kita menuju kejayaan amatlah banyak. Rintangan, gangguan
cobaan datang silih berganti. Baik yang datang dari eksternal maupun internal
umat, bahkan yang muncul dari diri sendiri. Sepertinya mereka tidak pernah
lelah dan berhenti. Mereka tidak menghendaki kemenangan ada di tangan kita.
Apabila kita pun lelah dan jenuh menghadapinya, maka selamanya kita tidak akan
pernah mencicipi rasa kemenangan itu.
Tatkala kita lelah, muncul bisikan-bisikan nista sambil
mengatakan untuk apa berkorban. Apakah pengorbanan yang kamu lakukan akan kamu
dapati hasilnya? Apakah pengorbanan itu akan kita rasakan. Jangan-jangan kita
yang berkorban malah orang lain yang menikmatinya?
Dan sedihnya lagi apa yang
sudah kita lakukan akan dipungkiri dan digugat. Mereka juga akan menutup mata
pada apa yang kita perbuat.
Bisikan-bisikan ini sering
kali mampir di telinga kita. Seakan-akan mereka ingin menyetop lajunya langkah
kaki-kaki kita.
Imam Hasan Al Banna berpesan
kepada kita: “Janganlah kalian berputus asa karena putus asa bukanlah akhlak
muslim. Sesungguhnya realita hari ini impian kemarin dan impian hari ini adalah
realitas hari esok.”
Gangguan yang menggelayuti
kita mesti kita hadapi, karena kita mempunyai iman, kita mempunyai keyakinan
dan kita bersama keberkahan Allah swt. Dan itu berangkat dari jiwa optimis yang
ada dalam diri kita.
Marilah kita hayati dan yakini
sabda Rasulullah saw. Di saat menghantarkan para sahabat dalam perang ahzab: “Berangkatlah
kalian dengan keberkahan Allah, maka kalian akan menang.”
Imam Al Banna pun berpesan: Di
atas tonggak yang kokoh, bangunlah kebangkitan kalian, perbaiki jiwa
kalian, fokuskan dawah kalian dan
pimpinlah umat menuju kebaikan, niscaya Allah bersama kalian dan tidak akan
menyia-nyiakan amal kalian.”
Sumber:
dakwatuna.com
0 comments: