Pertanyaan Dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga Pemalang Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 12 Muharam 1430 H / 9 Januari 2009 dan
Jum’at, 19 Muharam 1430 H / 16 Januari 2009)
Pertanyaan:
Apakah tetap harus dikeluarkan zakatnya apabila bentuk simpanan
berupa tanah tidak produktif (harga tanah mencapai nisab)?
Apakah mobil wajib dizakati?
Apakah kendaraan yang dibeli dengan cara kredit maupun cash harus
dikeluarkan zakatnya?
Bila uang yang digunakan untuk membeli kendaraan adalah tabungan
yang sudah dikeluarkan zakatnya, apakah tetap pemilik kendaraan, harus
mengeluarkan zakatnya? Kapan haulnya?
Jawab:
Syariat Islam telah mewajibkan zakat. Al-Quran memang tidak
memberikan ketegasan tentang berbagai kekayaan yang wajib dizakati dan
syarat-syarat apa yang mesti dipenuhi, serta seberapa besar harus dizakatkan.
Persoalan detail zakat seperti tersebut di atas dijelaskan oleh sunah Nabi saw,
baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Keadilan dan keringanan adalah prinsip-prinsip ajaran Islam
sehingga tidak mungkin agama akan memberikan beban yang seseorang tidak mampu
menanggungnya. Oleh karena itu, Islam memberikan batasan tentang sifat kekayaan
yang wajib dizakati dan syarat-syaratnya. Menurut Dr. Yusuf al-Qaradhawi ada
beberapa syarat harta kekayaan yang wajib dizakati:
Milik penuh
Berkembang
Cukup senisab
Lebih dari kebutuhan biasa
Bebas dari hutang
Berlalu setahun (al-Qaradhawi, 2007, Hukum Zakat: 125)
Al-Qaradhawi juga menjelaskan, ada dua macam kepemilikan tanah,
yaitu: Pertama, tanah yang dimiliki atau dibeli dengan maksud untuk mencari
laba. Tanah seperti ini termasuk tanah yang setiap tahun harus dihitung
harganya untuk mengetahui nisabnya lalu dikeluarkan zakatnya (bila sudah
senisab). Hukum zakat bagi tanah yang diperjualbelikan ini, merupakan pendapat
jumhur ulama yang tidak dipertentangkan lagi kecuali oleh Malikiyah. Menurut
mazhab ini, tanah tersebut wajib dizakati bila sudah laku terjual. Pendapat
jumhur ini bisa dijadikan pegangan, tetapi boleh juga pada kondisi tertentu
kita mengikuti pendapat Malikiyah yaitu pada saat mengalami kerugian misalnya
harga tanah turun di bawah harga pembelian dan tidak ada orang yang mau
membelinya kecuali dengan harga yang rendah. Kedua, tanah yang dibeli atau
dimiliki bukan untuk diperjualbelikan. Misalnya untuk didirikan bangunan di
atasnya maka tanah seperti ini tidak wajib dizakati. Namun jika di bangun perumahan,
misalnya untuk disewakan maka harus dikeluarkan zakatnya dari hasil perumahan
tersebut (al-Qaradhawi, 1995, Fatwa-Fatwa Kontemporer 1: 368).
Terkait dengan pertanyaan saudara, apakah ada zakatnya untuk tanah
yang tidak berkembang walaupun harganya mencapai satu nisab, maka dapat kami
jawab bahwa jika tanah itu saudara niatkan semata-mata untuk diwariskan, maka
tidak ada kewajiban zakatnya, karena tidak adanya syarat yang kedua sebagaimana
telah kami sebut di atas yaitu harta harus berkembang, sedangkan bila tanah itu
untuk diinvestasikan sehingga
dimungkinkan untuk berkembang maka ada zakatnya.
Pengertian berkembang adalah sifat kekayaan itu memberikan
keuntungan, pendapatan, keuntungan investasi atau pemasukan lainnya. Mewajibkan
zakat atas kekayaan yang tidak berkembang bisa mengakibatkan hal-hal yang tidak
diinginkan dan tentunya akan memberatkan, apalagi bila harus dilaksanakan tahun
demi tahun.
Adapun yang dijadikan dasar syarat harus berkembang adalah hadis
Rasulullah saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ
فِي عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda: Tidak ada kewajiban bagi seorang muslim untuk mengeluarkan zakat dari
budak atau kuda miliknya.” [HR. Muslim]
Hadis ini menjadi landasan bahwa kekayaan untuk pemakaian pribadi
tidak ada kewajiban zakatnya, Nabi saw hanya mewajibkan pada harta yang
berkembang dan diinvestasikan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Imam
an-Nawawi. Dalam perkara zakat kuda misalnya, Umar ibnu al-Khatab berijtihad
dengan tetap mengambil zakatnya karena memang pada masa itu, kuda sudah
diternak sedemikian rupa sehingga menjadi harta kekayaan yang besar, ini
berbeda dengan masa-masa sebelumnya.
Pada masa Nabi Muhammad saw harta-harta orang Islam berupa
binatang-binatang penarik, rumah-rumah kediaman, perkakas-perkakas kerja,
perabot-perabot rumah tangga tidak diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya karena
semuanya itu tidak termasuk harta yang berkembang.
Dengan demikian jelas bahwa simpanan yang berupa tanah tidak
produktif tidak terkena kewajiban zakat.
Berkaitan dengan harta kekayaan yang berupa mobil, apakah harus
dikeluarkan zakatnya atau tidak, sebenarnya sudah pernah dibahas oleh Tim Fatwa
Agama dan telah dimuat dalam Buku Tanya Jawab Agama jilid 2 halaman 113 dan di
Rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 20 Tahun ke-93/ Oktober 2008.
Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa status atau kedudukan mobil itu harus
diperjelas terlebih dahulu, apakah sebagai barang dagangan untuk diperjual
belikan, dijadikan taksi, ataukah sebagai alat transportasi pribadi/ keluarga
yang sangat dibutuhkan. Dalam hal ini, apabila mobil tersebut sebagai harta
dagangan, berarti harta tersebut termasuk harta yang berkembang sehingga wajib
dikeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% setiap satu tahun apabila sudah sampai nishab.
Para ulama mengambil ketentuan berkembang sebagai syarat bagi harta yang wajib
dizakati berdasar sabda Rasulullah saw, baik lisan maupun perbuatan, yang
diperkuat oleh tindakan para khalifah dan shahabat Nabi Muhammad saw, tidaklah
mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Seperti
yang ditegaskan dalam hadits pada jawaban butir 1.
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa hadits tersebut merupakan landasan
bahwasanya kekayaan untuk pemakaian pribadi tidak wajib dizakati. Nabi saw
hanya mewajibkan atas kekayaan yang berkembang dan diinvestasikan. Adapun jika
mobil tersebut dijadikan modal usaha, seperti dijadikan taksi, maka hasil dari
usaha tersebut harus dizakati sebesar 2,5% setiap tahunnya apabila sudah
mencapai nishab. Sedangkan mobilnya sendiri hanya dizakati sekali saja apabila
uang yang digunakan untuk membeli mobil tersebut belum dizakati. Hal ini
sebagaimana tersebut dalam buku al-Amwal fil-Islam Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah terbitan PT. Percetakan Persatuan halaman 20.
Saudara penanya yang budiman, sebenarnya bukan soal kendaraan yang
dibeli dengan cara kredit atau cash yang menyebabkan terjadinya kewajiban
zakat, tetapi pada status atau kedudukan kendaraan tersebut. Misalnya,
kendaraan itu berkedudukan sebagai barang dagangan atau digunakan untuk
keperluan sehari-hari. Sepeda motor umpamanya. Orang mempunyai sepeda motor,
kalau sepeda motor itu sebagai barang dagangan yang dapat berkembang atau
menghasilkan keuntungan, maka motor itu sebagai harta yang wajib dizakati.
Hampir sama dengan itu, apabila sepeda motor itu berfungsi sebagai modal dalam
mendapatkan hasil untuk dikumpulkan seperti sepeda motor untuk ojek, hasil dari
sepeda motor sebagai inventaris dizakati pada waktu mencapai batas satu tahun
sejumlah 2,5%. Selanjutnya, menurut yang tersebut dalam buku “Al Amwal fil
Islam” Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang diterbitkan
oleh PT. Percetakan Persatuan halaman 20, pada tiap akhir tahun dizakati 2,5%.
Dari harta itu, kecuali alat perlengkapan inventaris yang pernah dizakati tadi
tidak perlu dizakati lagi. Lain halnya jika memiliki sepeda motor sebagai alat
transportasi sehari-hari untuk memenuhi keperluan hidup dalam masyarakat, untuk
pergi ke kantor, untuk pergi ke Masjid, dan untuk keperluan pribadi atau
keluarga yang lain, tidak wajib dizakati.
Tabungan merupakan salah satu benda yang wajib dikeluarkan zakatnya
sekali dalam setahun, yaitu apabila telah memenuhi nishab dan haul Apabila uang
tabungan yang sudah dizakati itu digunakan untuk membeli kendaraan, seperti
mobil, kemudian mobil itu digunakan untuk kepentingan pribadi seperti untuk
pergi ke kantor, keluar kota atau berwisata, maka tidak wajib dikeluarkan
zakatnya karena ia termasuk benda yang tidak berkembang. Hal ini ditegaskan
oleh hadits yang diriwayatkan oleh Muslim sebagaimana telah dikutip pada
jawaban butir 1 di atas.
Namun, apabila mobil yang dibeli dari tabungan yang sudah
dikeluarkan zakatnya tersebut digunakan untuk mencari sumber penghasilan dengan
menjadikanya mobil angkot, taksi atau disewakan, maka pemiliki mobil harus
mengeluarkan zakat dari hasil usaha mobilnya jika memenuhi nisab 85 gram emas
murni, kadar zakatnya 2,5% dan haulnya setelah sampai setahun dihitung mulai
dari awal dia merintis usahanya. Jadi, zakatnya itu bukan dari zat mobil itu
sendiri, karena objek zakatnya telah berubah dari tabungan menjadi mobil angkot
yang menghasilkan pendapatan atau keuntungan.
Allah swt berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” [QS al-Baqarah, 2: 267]
Wallahu ‘alam bish-shawab.
sumber : tarjih.or.id
Baca juga:
0 comments: