Oleh: Mu’arif
Orang yang berkhidmat
dalam Muhammadiyah ibarat bekerja dalam sunyi. Dalam kesunyian, ia tak butuh
podium untuk menyampaikan gagasan. Juga tak perlu bendera (identitas kelompok)
untuk menawarkan bantuan kepada orang lain. Ia pun laksana garam. Terasa
asinnya tapi tak tampak wujudnya.
Begitulah orang yang
bekerja di belakang layar, menjadi sumber inspirasi dan sekaligus eksekutor
gagasan di lapangan. Seperti halnya sosok Drijowongso dari Porong, Sidoarjo, ia
bukanlah orang yang dikenal di kalangan Muhammadiyah, apalagi umat Islam di
Hindia Belanda pada awal abad 21. Tetapi sosok Drijowongso adalah sekretaris
Bagian PKO Muhammadiyah mendampingi Kyai Syuja’ (ketua). Barangkali yang luput
dari perhatian para peneliti Muhammadiyah kini adalah latar belakang kehidupan
Drijowongso.
Drijowongso
Sosok Drijowongso
adalah seorang buruh tani yang miskin asal Jawa Timur. Ia mengadu peruntungan
nasib menjadi buruh tani tebu di Klaten. Anak dan istrinya ditinggalkan di Jawa
Timur. Pandangan hidup Drijowongso sekuler, tetapi jiwanya selalu memberontak.
Sudah bekerja keras di bawah tekanan para cukong Belanda, pendapatannya tak
bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, apalagi untuk menghidupi anak dan istrinya.
Terbakar semangat oleh bujukan Haji Misbach, para buruh tani tebu di Klaten
berontak.
Mereka melakukan
pemogokan kerja secara massal pada sekitar tahun 1921. Drijowongso termasuk
salah satu aktor di balik aksi pemogokan buruh tersebut. Kerugian besar
ditanggung perusahaan milik para cukong kolonial. Akhirnya, buruh tani asal
Porong tersebut ditangkap oleh tentara kolonial dan dijebloskan ke dalam
penjara di Magelang selama satu setengah tahun.
Betapa sedih dan
sengsara sosok Drijowongso selama di penjara. Anak dan istrinya tidak mendapat
kiriman uang untuk membiayai hidup di kampung. Dalam keheningan di penjara, ia
teringat pada sosok ulama modernis yang sangat murah hati. Teringat dalam
pikirannya sebuah organisasi yang telah didirikan oleh ulama tersebut:
Muhammadiyah.
Tampaknya, kemunculan
sosok ulama modernis dari Kauman, Yogyakarta, sudah santer beredar di daerah
Magelang. Bahkan, ulama tersebut juga mengajar di salah satu sekolah kolonial
ternama di kota ini (OSVIA). Pandangan keagamaannya dinilai sangat maju. Apalagi,
lahirnya gerakan Islam modern yang digagas oleh ulama modernis tersebut
bertujuan untuk memajukan kaum pribumi. Drijowongso pun tertarik. Ia mengajukan
permohonan kepada HB Muhammadiyah supaya berkenan menghidupi anak istrinya yang
berada di Porong.
Haji Fachrodin (Soewara
Moehammadijah no. 1/th ke-4/1922) mengisahkan, pada tanggal 20 November 1921,
SI cabang Kediri mengundang HB Muhammadiyah Bagian Tabligh untuk menghadiri
openbarvergadering di tempat tersebut. Utusan HB Muhammadiyah terdiri dari KH Ahmad
Dahlan dan Haji Fachrodin. KH Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin diundang oleh SI
cabang Kediri karena dalam struktur CSI, keduanya menjabat posisi teras. Dalam
memenuhi undangan tersebut, HB Muhammadiyah mengajak Siti Moendjijah, adik
kandung Haji Fachrodin yang menjadi salah satu santri putri KH. Ahmad Dahlan.
Dari Kediri, utusan HB
Muhammadiyah melanjutkan kunjungan ke Sidoarjo. Pada tanggal 23 November 1921,
utusan HB Muhammadiyah menjemput anak dan istri Drijowongso di Porong
(Sidoarjo). Drijowongso memberikan kepercayaan kepada HB untuk menjaga,
mendidik, dan menghidupi anak dan istrinya selama dia dalam penjara (Magelang).
Satu setengah tahun
sudah lewat, Drijowongso baru saja keluar dari penjara di Magelang. Ia langsung
menuju ke Yogyakarta, bermaksud menemui anak dan istrinya. Alangkah kagetnya
dia sewaktu menemui anak dan istrinya. Sebelum dididik dan dibina oleh HB
Muhammadiyah, anaknya masih kecil dan lugu. Kini, sang anak telah tumbuh besar,
berpenampilan rapih, dan terdidik. Sang anak menyambut ayahnya dengan hormat
lagi santun. Tutur katanya sangat sopan, berbeda jauh kondisinya ketika masih
hidup di Porong. Begitu juga istri Drijowongso, lebih kelihatan rapih
penampilannya, dan sangat sopan perilakunya.
Anak dan istri
Drijowongso seolah-olah pernah mengenyam pendidikan formal karena mereka
memiliki wawasan yang luas, bahkan pengetahuan keagamaan yang memadai. Batin
Drijowongso tersentuh. Ia merasa berhutang budi kepada Muhammadiyah. Pada hari
itu juga, ia bertekad untuk terlibat aktif di Muhammadiyah. Pada waktu itu
pula, HB Muhammadiyah sedang menggelar Rapat Tahunan (1923) bertempat di rumah
R Wedana Djajengprakosa. Sekretaris HB Muhammadiyah menerima Drijowongso yang
bermaksud mengabdi di Muhammadiyah.
Itu baru sepenggal
kisah Drijowongso sebagaimana yang dikisahkan oleh Ng Djojosoegito dalam
notulen “Peringatan Perkoempoelan Tahoenan Moehammadijah 30 Maart- 2 April
1923 di Jogjakarta” (Soewara Moehammadijah no 5 dan 6/th ke-4/1923). Di hadapan
para peserta sidang, Drijowongso mengucapkan banyak terima kasih kepada
Muhammadiyah. Tanpa ragu, Drijowongso menyatakan siap mengabdi di Muhammadiyah.
Dia pun dipilih sebagai sekretaris Bagian PKO, mendampingi Kiai Syuja’.
PKU Muhammadiyah
Pada malam 17 Juni
1920, ketika Muhammadiyah menggelar algemeene vergadering, Kiai Syuja’
menyampaikan visi dan misinya dalam mengemban amanat sebagai ketua Bagian PKO.
Syuja’ dipercaya sebagai ketua pertama Hoofdbestuur Moehammadijah Bagian PKO
dalam usia sekitar 31 tahun. Setelah tiga tahun memimpin PKO, akhirnya Syuja’
mendapat partner yang cukup revolusioner, yakni Drijowongso.
Harus diakui, memang
nama Drijowongso tidak banyak dikenal di kalangan Muhammadiyah. Sebab, ia
seorang yang berkhidmat dalam berjuang di Muhammadiyah. Bekerja dalam sunyi,
tetapi membuahkan hasil yang nyata. Spirit revolusioner tafsir Al-Maun rupanya
mampu menggetarkan hatinya. Jika sebelumnya Drijowongso mengenal
gagasan-gagasan revolusioner lewat pemikiran-pemikiran Sosialis-Marxis (gerakan
kaum buruh), setelah bergabung dengan Muhammadiyah ia menemukan spirit yang
sama namun berhaluan religius. Selain mengurus administrasi Bagian PKO,
Drijowongso juga aktif menggalang dana untuk membangun rumah miskin dan balai
pengobatan yang diperuntukkan bagi para dlu’afa pribumi.
Itulah sepenggal kisah
Drijowongso bersama PKO Muhammadiyah yang mungkin belum banyak diketahui warga
Muhammadiyah saat ini.
______________________
Mu’arif, Pemerhati sejarah Muhammadiyah.
Sumber suaramuhammadiyah.id
Dengan perubahan judul
0 comments: