Sikap dan Pandangan Muhammadiyah: jika Arafah berbeda dengan Pemerintah Saudi
Maklumat NOMOR: 01/MLM/I.0/E/2018 PP Muhammadiyah, Idul Adha tahun ini jatuh pada hari Rabu Wage, 22 Agustus 2018. Penetapan tanggal itu didasarkan pada perhitungan hisab wujudul hilal yang menghasilkan data astronomis sebagai berikut:
Ijtima’ jelang Dzulhijah1439 H terjadi pada hari sabtu Pon, 11 Agutus 2018 M pukul 17:00:24 WIB.
Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta (-00° 37’, 58” LS 110°21BT ) = -0°37’58” (hilal belum wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di bawah ufuk.
Dengan data astronomi seperti ini, maka ditetapkan
1 Dzulhijah1439 H jatuh pada hari Senin Kliwon, 13 Agustus 2018 M.
Hari Arafah (9 Dzulhijah1439 H) hari Selasa Pon, 21 Agustus 2018 M.
Iduladha (10 Dzulhijah1439 H) hari Rabu Wage , 22 Agustus 2018 M.
Muhammadiyah dalam hal ini memahami bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah sesuai dengan kalender bulan Dzulhijjah pada di wilayah Indonesia sesuai dengan hasil perhitungan metode hisab wujudul hilal.
Oleh karena itu, puasa Arafahnya tidak harus bersamaan dengan jama’ah haji yang sedang berwukuf di Arafah, ketika terjadi perbedaan hari antara Muhammadiyah dan pemerintah Arab Saudi.
Beberapa argumentasi dapat dikemukakan untuk mendukung pemahaman Muhammadiyah tersebut, yaitu :
PERTAMA :
Rasulullah saw. telah menamakan puasa Arafah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arafah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.
Dalam sunan Abu Dawud :
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari ‘Aasyuroo’ (10 Muharrom) dan tiga hari setiap bulan” (HR Abu Dawud)
Hadits di atas menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbiasa puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Tatkala mengomentari lafal hadits yang berbunyi :”Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (tatkala di padang Arofah)”,
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata : “Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arafah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar” (Fathul Baari 6/268)
Perlu diketahui bahwa Nabi saw. hanya berhaji sekali yaitu pada saat haji wadaa’- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu. Hal itu menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah.
KEDUA :
Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon.
Maka jika puasa Arafah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama’ah haji di padang Arafah, maka bagaimanakah puasa Arafahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Makkah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.
Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut?, dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?, apakah harus menunggu kabar dari Makkah? yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?
KETIGA :
Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama’ah haji di padang Arafah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Makkah dan Sorong adalah 6 jam?.
Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Makkah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam.
Dan tatkala penduduk Makkah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Makkah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
KEEMPAT :
Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama’ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arafah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama’ah yang wukuf di padang Arafah?
Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arafah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arafah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Maka barang siapa yang satu mathla’ dengan Makkah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama’ah haji sedang wukuf di padang Arafah karean pada saat itu di Makkah sudah tanggal 9 Dzhulhijjah, akan tetapi jika ternyata mathla’nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 dzulhijjah dengan kalender di Sorong. Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah.
Meskipun Muhammadiyah lebih memilih kepada pendapat setiap negeri menyesuaikan 9 dzulhijjah berdasarkan kalender masing-masing negeri-, tetapi Muhammadiyah menyadari ada juga pendapat lain .. Mari saling menghargai dan menjaga ukhuwah...
0 comments: