Tuesday, July 3, 2018

Fatwa Tarjih Muhammadiyah : Hukum Selamatan Kematian 3,7,100 Hari



Pertanyaan dari: Kus Anwaruddin, Sekretaris PC Pemuda Muhammadiyah Tersono, Mangunsari, Tersono, Batang, Jawa Tengah

Pertanyaan:

Sebagai warga Muhammadiyah walaupun belum punya KTA saya ingin menanyakan beberapa hal yang selama ini menjadi ganjalan dalam benak saya:

Bagaimana sikap resmi PP Muhammadiyah mengenai tradisi Upacara Tahlilan dalam rangkaian upacara kematian?

Sebagai warga Muhammadiyah bagaimana sikap saya bila diundang dalam upacara tahlilan yang di dalamnya ada jamuan makanannya? (Biasanya makanan tersebut dikumpulkan oleh warga RT/jamaah lalu diserahkan kepada keluarga yang terkena musibah dan selanjutnya dimakan bersama dalam upacara tahlilan tersebut).

Apa hukumnya bila saya menghadiri undangan tahlilan tersebut dengan alasan untuk kerukunan sebagai warga masyarakat? (Perlu diketahui bahwa, sepengetahuan saya di daerah saya masih banyak para PCM yang menghadiri undangan tahlilan tersebut).

Apa pula hukumnya makan bersama dalam perjamuan tahlilan tersebut dengan alasan yang meninggal dunia tidak punya anak yatim / anaknya sudah dewasa dan sudah berkeluarga semua serta makanan tersebut berasal dari para jamaah tahlil yang hadir/dari warga RT? (Biasanya hal ini sudah menjadi program RT).

Saya sangat mengharapkan atas jawaban yang memuaskan dan disertai dalil-dalil yang sohih sehingga sebagai warga Muhammadiyah saya tidak ragu-ragu dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.

Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.



Jawaban:

Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan yang saudara sampaikan sudah sangat sering ditanyakan dan sekaligus dijawab dalam rubrik fatwa agama ini. Di antaranya adalah seperti yang ditanyakan oleh Saudara Ruslan Hamidi, Moyudan, Sleman (SM No. 11 Th. Ke-88/2003), Ferry al-Firdaus, Cilawu Garut (SM No. 24 Th. Ke-90/2005) Tamrin Mobonggi, Limbato, Gorontalo (SM No. 3 Th. Ke-92/2007). Saudara dapat membaca secara lengkap dalam edisi-edisi Majalah Suara Muhammadiyah sebagaimana yang kami sebutkan.

Namun demikian, tidak ada salahnya kami jelaskan kembali secara ringkas tentang persoalan tahlilan tersebut, agar saudara dapat lebih mudah memahaminya.

Jika yang dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha illa Allah” (tiada Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam al-Qur`an disebutkan:
Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” [al-Baqarah (2):152]

Disebutkan pula pada ayat-ayat lain seperti QS. al-Ahzab (33): 41, QS. al-An’am (6): 19, QS. al-Ikhlas (112): 1-4, QS. Muhammad (47): 19.

Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, misalnya hadits riwayat Abu Hurairah:
Artinya: Diriwayatkan dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” [Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691]

Disebutkan pula pada hadits-hadits lain seperti hadits riwayat al-Bukhari dari ‘Itban ibn Malik, dalam Shahih al-Bukhari, Kitab as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut dan hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dalam Shahih Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695.

Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik. Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya.

Selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu berakar dalam masyarakat kita. Karena hal itu ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Apalagi, upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir). Seharusnya, ketika ada orang yang meninggal dunia, kita harus bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian sambil membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Pada waktu Ja’far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para shahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja’far, bukan datang ke rumah keluarga Ja’far untuk makan dan minum.

Perlu diketahui pula, bahwa setelah kematian seseorang, tidak ada tuntunan dari Rasulullah saw untuk menyelenggarakan upacara atau hajatan. Yang ada adalah tuntunan untuk memberi tanda pada kubur agar diketahui siapa yang berkubur di tempat itu (HR. Abu Dawud dari Muthallib bin Abdullah, Sunan Abi Dawud, Bab Fi Jam’i al-Mauta fi Qabr …, Juz 9, hlm. 22), mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah SWT (HR. Abu Dawud dari ‘Utsman ibn ‘Affan dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Sunan Abi Dawud, Bab al-Istighfar ‘inda al-Qabr lil-Mayyit …, Juz 9, hlm. 41) dan dibolehkan ziarah kubur (HR. Muslim dari Buraidah ibn al-Khusaib al-Aslami, Bab Bayan Ma Kana min an-Nahyi …, Juz 13, hlm. 113).

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan :

1.    Sebagai warga Muhammadiyah sikap yang harus diambil adalah menjauhi atau meninggalkan perbuatan yang memang tidak pernah dituntunkan oleh Rasulullah saw dan sekaligus memberikan nasehat dengan cara yang ma’ruf (mauidlah hasanah) jika masih ada di antara keluarga besar Muhammadiyah pada khususnya dan umat Islam pada umumnya yang masih menjalankan praktek-praktek yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw tersebut.

2.    Dalam menjaga hubungan bermasyarakat, menurut hemat kami tidaklah tepat jika tolok ukurnya hanya kehadiran pada upacara/hajatan kematian. Namun, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain, seperti rapat RT, kerja bakti, ronda malam (siskamling), takziyah dan lain-lain juga perlu mendapat perhatian. Dengan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut, insya Allah, ketika kita hanya meninggalkan satu kegiatan saja (tahlilan/hajatan tersebut) tidak akan membuat kita dijauhi oleh masyarakat di mana kita tinggal.

3.    Mengenai makan dan minum pada perjamuan tahlilan, sekalipun makanan dan minuman tersebut berasal dari para warga RT, namun tetap saja dapat digolongkan pada perbuatan tabzir, sehingga layak untuk ditinggalkan.

Wallahu a’lam bish-shawab

===============================
Sumber : Fatwa-fatwa Majelis Tarjih PP Muhammadiyah

Sebelumnya
Berikutnya

Penulis:

0 comments: