Wednesday, June 20, 2018

Arti Haji Ifrad, Tamattu, Qiran dan Shalat Jama'


Pertanyaan Dari:
Muqoddas AN., Jl. Veteran No. 76 Banjarnegara, Jawa Tengah 53414


Tanya:
1.Mohon dijelaskan apakah yang dimaksud dengan haji ifrad, qiran dan haji tamattu dan apa pula perbedaan antara ketiganya.
2.Tatkala shalat, pada waktu ruku’, i’tidal, sujud, duduk antara dua sujud dan pada waktu tahiyyat awal maupun tahiyyat akhir dapatkah ditambah dengan membaca do’a yang diambil dari al-­Qur’an, hadis ataupun do’a dalam bahasa daerah?
3.Saya dari Banjarnegara ke Jakarta, berangkat setelah Zuhur. Oleh karena itu shalat Zuhur dan Asar saya lakukan secara jamak di rumah. Apakah shalat Zuhur dan Asar tersebut harus saya lakukan secara jamak qasar dengan empat raka’at dan dua rakaat ataukah dengan dua-dua rakaat? Dan berapa lama batasan bagi musafir untuk bisa melakukan shalat secarajamak qasar?



Jawab:
Saudara Muqaddas AN., ibadah haji memang dapat dilakukan secara tamattu’, ifrad dan qiran. Yang dimaksud dengan haji tamattu’ ialah mengerjakan ibadah haji dengan didahului oleh umrah. Adapun pelaksanaannya ialah sesampai di mikat makani ia berniat ihram untuk umrah dengan mengucapakan: labbaika ’umratan لَبَّيْكَ عُمْرَةً , kemudian berangkat ke Makkah sambil membaca talbiyah. Sesampainya di Makkah lalu melakukan tawaf serta sa’i untuk umrahnya, setelah itu bertahallul dengan mencukur atau menggunting rambut. Setelah ini selesailah umrahnya dan ia bebas dari status ihrarn, sudah bisa memakai pakaian biasa lagi. Barulah pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Zulhijjah) ia mulai berihram lagi untuk mengerjakan haji dengan segala rangkaiannya sampai selesai. Haji tamattu’ ini dikerjakan oleh orang yang tidak membawa binatang kurban (hadyu) dari tempat asalnya dan ia dikenakan dam tamattu’.


Adapun yang dimaksud dengan haji ifrad ialah mendahulukan ibadah haji atas umrah. Sejak dari mikatnya ia sudah berniat untuk ibadah haji dengan segala rangkaiannya sampai selesai. Oleh karena sejak dari mikat ia berniat secara ikhlas dengan mengucapkan: labbaika hajjan لَبَّيْكَ حَجًّاSetelah selesai melakukan ibadah haji barulah ia mengerjakan ihram untuk umrah. Haji ifrad dilakukan oleh orang yang membawa binatang kurban dari kampung asalnya. Bagi yang melakukan haji ifrad tidak dikenakan dam. Nabi pada waktu haji wada’ mengerjakan haji ifrad.


Sedangkan yang dimaksud dengan haji qiran ialah ibadah haji dan ibadah umrah dikerjakan secara sekaligus atau bersama­-sama dengan satu niat. Oleh karena itu niatnya ialah: labbaika hajjan wa ‘umratan لَبَّيْكَ حَجًّا وَعُمْرَةً, atau labbaika ‘umratan wa hajjan لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا. Setelah selesai mengerjakan haji ia tidak perlu lagi mengerjakan umrah, karena haji dan umrah sudah dikerjakan sekaligus. Bagi yang memilih haji qiran pun dikenakan dam karena menggabungkan haji dan umrah dalam satu waktu.


Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perbedaan antara ketiganya ialah dalam hal kapan mengerjakan umrah, dikerjakan sebelum ihram haji, sesudah ihram haji ataukah dilakukan secara bersamaan. Perbedaan yang lain bahwa orang yang memilih mengerjakan haji tamattu’ dan qiran dikenai dam, sedang yang memilih melakukan haji ifrad tidak dikenai dam. Mengenai tata cara melaksanakan ibadah haji ini silahkan Saudara baca buku Tuntunan Manasik Haji oleh Tim Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah.


Pertanyaan Saudara yang kedua, mengenai tambahan doa dalam ruku’, sujud maupun tahiyyat, haruslah diketahui bahwa shalat itu adalah ibadah mahdah yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan sesuai dengan yang dituntunkan Rasulullah saw baik mengenai gerakan-gerakannya maupun bacaan-bacaannya. Hal ini sebagaimana diperintahkan Rasulullah saw dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Malik ibn Huwairisi, bahwa Nabi bersabda:


صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى[رواه البخاري]
Artinya: “Salatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya shalat.”


Oleh karena itu tidak boleh kita menambah-nambah dari apa yang dituntunkan Rasululullah saw, termasuk dalam hal berdo’a ketika ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, maupun pada waktu tahiyyat. Memang ada kesan bahwa pada waktu ruku’ dan sujud kita boleh memperbanyak doa, dan terkesan doa itu tidak saja dari apa yang dituntunkan Rasulullah saw, tapi juga yang kita maui. Hal ini karena menurut Rasulullah saw, pada waktu shalat hubungan hamba dengan Allah yang paling dekat ialah ketika melakukan sujud. Oleh kanena itu kita diperintahkan banyak berdo’a pada waktu sujud tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah:


أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ[رواه مسلم]
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Hamba yang paling dekat kepada Tuhannva adalah hamba yang sedang sujud, maka perbanyaklah do’a oleh kamu sekalian pada waktu sujud.”


Namun demikian memperbanyak do’a pada waktu sujud atau ruku’ tidak berarti menambah dengan do’a yang tidak diterima dari Rasulullah saw. Memperbanyak do’a dalam hadis di atas antara lain mengandung arti mengulang-ngulang suatu do’a dalam sujud atau ruku’. Pengertian ini ditunjuki oleh hadis Nabi saw antara lain yang diriwayatkan Muslim dari Aisyah bahwa Aisyah berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي[رواه مسلم]
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah saw memperbanyak do‘a pada waktu ruku’ dan sujudnya dengan membaca: “Subhanaka Allahumma rabbana wa bihamdika Allahummagfirli”.”


Dalam hadis di atas yang dimaksud dengan memperbanyak do’a dengan bacaan subhanaka,ialah mengulang-ngulang bacaan do’a tersebut.


Memperbanyak do’a dalam ruku’ dan sujud bisa juga berarti membaca beberapa do’a pada setiap kali ruku’ dan sujud. Memang terdapat beberapa riwayat dari Nabi saw yang menyebutkan berbagai macam bacaan (doa) pada waktu ruku’ dan sujud. Hanya saja untuk makna yang terakhir ini tidak/ belum ditemukan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi saw dalam satu kali ruku’/ sujud ada membaca berbagai macam doa. Atas dasar ini Tim Fatwa dalam memahami memperbanyak do’a cenderung kepada makna yang pertama bahwa memperbanyak doa itu dalam arti mengulang­-ngulang bacaan suatu do’a. Hanya saja yang perlu diketahui lebih lanjut bahwa memperpanjang/ memperlama ruku’ atau sujud dengan mengulang-ngulang bacaan suatu do’a itu tidak berarti hanya diperlakukan khusus dalam salah satu ruku’ atau sujud, umpamanya sujud yang terakhir yang diperpanjang, melainkan memberlakukan sama dalam semua ruku’ atau sujud, karena tidak diperoleh keterangan bahwa Nabi saw hanya memperlama/ memperpanjang salah satu ruku’nya atau sujudnya saja. Justru Nabi saw menyamakan lamanya itu dalam semua ruku’ dan semua sujud, hal ini seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:


كَانَ يَجْعَلُ رُكُوعَهُ وَقِيَامَهُ بَعْدَ الرُّكُوعِ وَسُجُودَهُ وَجِلْسَتَهُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيبًا مِنْ السَّوَاءِ[رواه مسلم]
Artinya: “Bahwasanya Rasulullah saw menjadikan ruku’nya dan berdirinya setelah ruku’, sujudnya dan duduknya di antara dua sujud hampir sama lamanya.”


Dalam pada itu terdapat hadis riwayat Muslim dari Abu ‘Uwanah yang secara tegas melarang membaca ayat al-Qur’an pada waktu ruku’ atan sujudMuslim meriwayatkan beberapa hadis yang berkaitan dengan ini. Satu di antaranya diriwayatkan dari lbnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda:


أَلَا وَإِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِي الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ[رواه مسلم]
Artinya: “... ketahuilah bahwa aku telah dilarang untuk membaca al-­Qur’an pada waktu ruku’ dan sujud. Adapun di dalam ruku’, maka agungkanlah Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung dan di dalam sujud, maka bersungguh-sungguhlah di dalam berdo’a karena patutbagi kamu untuk diijabah ...”


Dalam hadis Muslim yang diterima dari Ibrahim ibn Abdillah ibn Hunain dari ayahnya menyebutkan bahwasanya ia mendengar Ali ibn Abi Talib mengatakan:


نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَأَنَا رَاكِعٌ أَوْ سَاجِدٌ[رواه مسلم]
Artinya: “Rasulullah saw telah melarang saya membaca al-Qur’an pada waktu saya ruku’ dan sujud.”


Mengenai membaca doa dengan memakai bahasa daerah atau dengan bahasa Arab pada waktu ruku’, i’tidal, sujud atau tahiyyat yang do’a tersebut tidak diterima dari Nabi saw, atau diketahui bahwa Nabi saw tidak pernah membaca doa tersebut, sekalipun tidak didapat riwayat yang melarangnya, akan tetapi karena seperti telah disebutkan bahwa shalat itu merupakan ibadah mahdah, maka sebaiknya tidak berdo’a pada waktu tersebut selain dengan bacaan do’a yang diterima dari Nabi saw. Kalau saudara mau mendo’a dengan seluas-luasnya dengan bahasa apapun lebih baik dilakukan setelah selesai shalat saja.


Adapun pertanyaan Saudara yang berkaitan dengan shalat jamak dan qasar, dalam SM Edisi No. 3/1998 sudah dimuat jawaban mengenai permasalahan yang berkaitan dengan shalat jamak dan qasar tersebut, silahkan dibaca. Dari ketentuan itu apabila diterapkan kepada pertanyaan Saudara yang ketiga, maka Saudara semestinya melaksanakan shalat jamak taqdim, yaitu mengerjakan shalat Zuhur dengan Asar secara sempurna empat rakaat-empat rakaat. Hal ini dikarenakan: Pertama, ketika saudara akan berangkat sudah masuk waktu Zuhur. Oleh karenanya yang dilaksanakan adalah jamak taqdim. Kedua, pada waktu itu saudara belum dalam keadaan safar, tetapi baru mau safar dan masih di rumah. Oleh karenanya yang dilakukan adalah shalat empat rakaat-empat rakaat secara sempurna, karena shalat qasar itu baru bisa dilakukan dalam keadaan safar, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 101:


Artinya: “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), …”


Seandainya pada waktu Saudara berangkat dari Banjarnegara belum masuk waktu Zuhur, maka yang Saudara lakukan adalah shalat jamak ta’khir secara qasar (dua rakaat-dua rakaat) karena ketika shalat tersebut dilakukan, Saudara sudah masuk dalam kritena di perjalanan (fi safar).

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber; www.fatwatarjih.com


Sebelumnya
Berikutnya

Penulis:

0 comments: