Tuesday, April 17, 2018

Ramadhan Kita untuk Siapa?



Sudah lumrah, setiap menjelang Ramadhan harga kebutuhan pokok terus menjulang. Ada yang berdalih karena umat Islam menjadi konsumtif. Alasan ini bisa benar bisa juga tidak, karena kalau ditotal kebutuhan yang perlu dicukupi seharusnya tidak bertambah. Sembilan bahan pokok misalnya, harusnya meskipun waktu berbuka dan sahur lebih dari porsi biasanya, tetapi pada siang hari kebutuhan itu berkurang karena tidak ada makan siang.


Armada Beras Ngloji, ada yang menyebutnya 'Bulog' PCM

Lebih masuk akal apabila harga yang naik terkhusus pada komoditas tertentu, lauk-pauk, buah-buahan dan semisalnya. Pada masa Ramadhan tingkat konsumsi untuk bahan pangan tersebut memang cenderung meningkat. Nyatanya, kenaikan harga tersebut terjadi secara merata di semua bahan pangan. Tentu ini menjadi satu persoalan tersendiri, di saat umat Islam ingin fokus menjalankan ibadah, di sisi lain mereka harus dipusingkan dengan kenaikan berbagai komoditas pangan.

***

Dalam sebuah obrolan dengan seorang kawan yang baru-baru ini ikut dalam sosialisasi semacam masyarakat wirausaha muslim menerima penjelasan tentang posisi lemah pengusaha muslim. Katanya, para pengusaha muslim tertinggal dalam bidang distribusi. Rantai penghubung antara produsen dengan konsumen banyak dikuasai oleh orang lain. Tak heran jika produsen muslim yang dianggap memiliki prospek bagus dan menyaingi usaha mereka, akan diputus pada jalur distribusi.

Teringat saat mengantar seorang kawan melihat pengepul cabe di daerah Krakitan, Muntilan. Bagaimana puluhan ton cabai dari para petani bisa dikumpulkan dalam satu tempat. Para petani dari segala penjuru mengantar sendiri cabai mereka untuk dijual. Posisi tawar petani sangat lemah, karena harga akan mengikuti patokan dari pengepul. Di sisi lain, para pedagang di pasar tradisional sangat tergantung dan harus kulakan cabai dari para pemasok. Ada alur distribusi yang membingungkan.

Lalu ada apa dengan Ramadhan kita? Dari sisi ekonomi, Ramadhan menjadi masa panen bagi pengusaha. Bisa dibilang apapun komoditas yang dijual, akan laris. Ramadhan dan Idul Fitri menjadi puncak dari tingkat konsumsi masyarakat. Tentu mayoritas adalah umat Islam. Tetapi siapa yang menikmati keuntungan dari adanya lonjakan konsumsi tersebut? Sebagian kecil dirasakan pengusaha muslim, sebagian besar dinikmati pengusaha non-muslim. Setidaknya ada dua sebab mengapa justru pengusaha non-muslim yang menikmati momen Ramadhan dari sisi ekonomi. Pertama, jumlah pengusaha muslim terbatas sehingga tidak mampu menjangkau dan memenuhi kebutuhan pasar. Kedua, tingkat loyalitas umat untuk membesarkan pengusaha sesama muslim belum terbentuk. Dua pekerjaa menantang ini harus dijalankan secara berbarengan.

***

Untuk mengukur tingkat loyalitas umat, bisa ditanyakan kepada diri kita sendiri. Dari mana sembako yang kita konsumsi, di mana pakaian yang kita kenakan kita beli, sampai kemudian dari mana makanan yang mengisi toples saat Idul Fitri kita dapatkan. Jika pertanyaan-pertanyaan itu kita jawab dengan jawaban: dari penjual atau pengusaha muslim. Maka satu pekerjaan sudah selesai, tinggal usaha untuk memunculkan wirausahawan muslim. Tetapi, jika kita belum tergerak untuk membantu para pengusaha muslim bertumbuh. Perubahan mesti dimulai dari diri kita.

Bukankah kemampuan untuk pemenuhan bahan dan produk pangan oleh pengusaha muslim terbatas? Pola Subtitusi. Ini harus menjadi satu pilihan. Saat idul fitri kita tidak bisa menemukan penganan berupa roti, kita bisa menggantikannya dengan Bakpia yang telah diproduksi di Minggir. Saat kita tak menemukan kue, kita bisa menjadikan wingko sebagai alternatif. Wingko juga sudah diproduksi di Minggir. Dan lain sebagainya, pola subtitusi menjadi solusi dari belum mampunya pengusaha muslim memenuhi kebutuhan pasar.

Sebagai sebuah ikhtiar nyata, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) PCM Minggir telah mencoba menjadi bagian dari rantai distribusi. Pengemasan beras Ngloji misalnya, meminimalkan jalur distribusi dari petani ke konsumen. Akan lebih bagus jika di masa datang kebutuhan pokok semisal minyak, cabe, gula dan lainnya juga bisa disediakan oleh MEK PCM.

Pasar sore Ramadhan menjadi upaya lain MEK PCM menjembatani interaksi langsung dari pemasar dengan pembeli dalam satu tempat yang strategis. Rencana Ramadhan ini PCM menyediakan puluhan lapak yang bisa digunakan para pedagang dan pengusaha muslim untuk menjual dagangan mereka. Bagi yang berminat bisa menghubungi PCM Minggir atau Panitia Pasar Sore Ramadhan, Bapak Siswanto, Sendangrejo.

***

Ramadhan kita untuk siapa? Jika kita membelanjakan uang justru bukan di kios-kios milik muslim. Padahal kepada mereka sering kita minta tolong atau ditolong. Ramadhan kita untuk siapa? Jika terkadang mengadakan kegiatan, kita sodorkan proposal permohonan dana, sedang kita tidak berusaha belanja di toko mereka. Ramadhan kita untuk siapa? Tentu hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya. [e]

Sebelumnya
Berikutnya

Penulis:

0 comments: