Saturday, February 10, 2018

Muhammadiyah dan Tantangan Jihad Digital

Oleh: Achmad Santoso

Penulis adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah/Mahasiswa magister pendidikan di Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Dakwah Muhammadiyah senantiasa mengusung misi tajdid atau pembaruan. Yang dimaksud pembaruan adalah menyelaraskan ajaran agama sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Ketika menyelenggarakan muktamar ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, Muhammadiyah mencanangkan semangat jihad ekonomi. Jihad ekonomi mengarah pada kemandirian ekonomi demi memperbaiki kesejahteraan umat.



Sebelumnya, pada era Din Syamsuddin, dalam muktamar satu abad, Muhammadiyah menggelorakan jihad konstitusi mengingat banyaknya undang-undang yang tidak prorakyat. Hal itu melengkapi jihad lain yang lebih dulu sukses di bidang pendidikan dan kesehatan.

Kini, sembari menyempurnakan jihad ekonomi, ada jihad lain yang tidak kalah mendesak pada era kiwari. Ya, sekarang waktunya ”jihad digital”. Pada era informasi dan teknologi yang sedemikian pesat, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini mesti turut mengambil peran. Itu senapas dengan misi pembaharuan. ”Jihad konstitusi yang dilakukan Muhammadiyah sudah berhasil di periode lalu. Periode ini sudah saatnya Muhammadiyah menggalakkan jihad digital.”

Begitu pesan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dadang Kahmad ketika memberikan sambutan dalam acara Pembukaan Pelatihan Pengelolaan Arsip bagi Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) pada 2016 lalu sebagaimana dikutip dari Muhammadiyah.or.id.

Era media cetak memang perlahan mau tidak mau digantikan oleh media online (daring). Meskipun begitu, tidak menggantikan sepenuhnya karena media cetak, seperti koran dan majalah punya ciri khas serta segmen tersendiri. Beberapa media ternama di Tanah Air pun mulai ”pasang badan”. Maksudnya, selain menerbitkan versi cetak, mereka juga mengelola media online.

Muhammadiyah sendiri punya beberapa media cetak, salah satunya majalah. Di tataran pusat ada Suara Muhammadiyah yang legendaris itu. Suara Muhammadiyah merupakan majalah tertua di Indonesia. Majalah ini secara resmi didirikan oleh Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah pada Januari 1915 (terbitan pertama).

Berkat kiprahnya, pada 2016 lalu Suara Muhammadiyah diganjar penghargaan dari MURI sebagai Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama. Kemudian, di PW Muhammadiyah Jatim terdapat majalah Matan. Nah, demi ekspansi dakwah, ormas berlambang matahari ini juga mengembangkan media online, sebut saja Muhammadiyah.or.id  (PP) dan PWMU.co (PWM Jatim). Suara Muhammadiyah pun sudah memiliki versi online (www.suaramuhammadiyah.id).

Akan tetapi, masalah muncul seiring dengan menjamurnya media online. Dahlan Iskan, yang sudah puluhan tahun bergelut di dunia pers, suatu ketika pernah mengatakan bahwa media cetak memang punya lawan yang cukup kuat dalam diri media online.

Namun, media online juga memiliki musuh yang jauh lebih kuat. Apa lagi kalau bukan media sosial. Ya, media sosial seperti Facebook menjadi musuh yang nyata sekaligus kejam bagi media online karena rawan disalahgunakan untuk menyebar konten-konten hoax. Berita yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Problem tersebut memang terbukti sahih. Kalau masuk ke dunia media sosial, Facebook misalnya, Anda akan menjumpai banyak berita dengan judul provokatif dan isinya bahkan hanya beberapa paragraf. Namun, dari berita yang tidak akurat itu, lihat komentar-komentar yang muncul, berjibun. Padahal, sangat mungkin mereka cuma membaca judulnya.

Inilah salah satu tantangan Muhammadiyah yang dialami dalam misi jihad digital. Sebab, yang dihadapi saat ini adalah generasi yang berbeda dengan dulu. Generasi millennial cenderung suka yang praktis-praktis. Selain itu, minat membaca secara konvensional menurun dan lebih suka membaca secara instan. Mereka menjadikan media sosial sebagai alat komunikasi dan pusat informasi.

Kritik tajam juga tak luput disampaikan kepada generasi muda Muhammadiyah yang kian aliterasi.Kurangnya membaca buku dan mandiri menelusuri kebenaran suatu wacana adalah sumber dari termakannya generasi muda akan hoax. Kelengahan-kelengahan inilah yang dimanfaatkan para penebar hoax untuk membuat informasi abal-abal.

Muhammadiyah wajib melawan perkara serius itu. Muhammadiyah punya peluang untuk berdakwah melalui celah-celah itu. Baik untuk internal maupun eksternal. Sebab, jika penangkalnya tidak banyak, para penebar// hoax //ini akan semakin merajalela dan tertawa ria di belakang layar sana.

Dewan Pers memerikan ciri-ciri berita hoax. Pertama, begitu disebar hoax bisa mengakibatkan kecemasan, permusuhan, dan kebencian dalam diri masyarakat. Ciri kedua adalah ketidakjelasan sumber berita. Pemberitaan ini tidak atau sulit terverifikasi. Ketiga, isi pemberitaan tidak berimbang dan cenderung menyudutkan pihak tertentu.

Poin keempat, ciri hoax adalah sering bermuatan fanatisme atas nama ideologi. Biasanya bisa dilihat dari judulnya yang provokatif, tapi tanpa data dan fakta. Karena sudah termakan judul yang sarat hasutan itu, masyarakat, terutama yang gampang marah alias sumbu pendek, dengan mudah berkomentar ini itu dan menyebar ulang di media sosial masing-masing.

Dengan begitu derasnya arus informasi melalui media sosial, masyarakat membutuhkan //clearing house// atau sesuatu untuk meluruskan berita hoax. Beberapa media mainstream barangkali sudah punya rubrik sebagai klarifikasi berita itu bohong atau tidak.

Berkaca dari hal tersebut, Muhammadiyah sedikitnya punya dua cara untuk mengejawantahkan jihad digital ini. Pertama, selain mempertahankan sekaligus menginovasi media cetak, Muhammadiyah harus mampu mengintensifkan media daring untuk menyebarluaskan misi dakwah. Kedua, turut menangkal dan meluruskan kabar-kabar bohong di media sosial sehingga tidak menyesatkan pembaca.

Langkah itu sudah mencakup dakwah amar makruf nahi munkar yang berisi perintah mengajak atau menganjurkan hal-hal baik dan mencegah hal-hal buruk. Dalam Alquran surah Al Hujurat ayat 6, Allah SWT juga sudah mengingatkan, ”Wahai orang-orang yang beriman, jika orang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, periksalah dengan teliti, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan atau kecerobohan yang akhirnya kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Langkah klarifikasi atau pembersihan informasi semacam itu amat penting supaya umat ini tidak tercerai berai hanya karena tipu daya hoax. Masyarakat berhak menerima informasi dari sumber yang dapat dipercaya kebenarannya. Dan, Muhammadiyah, sekali lagi, harus bisa mengambil peran di situ. Muara jihad digital ini sejalan dengan tema Milad ke-105 Muhammadiyah pada 18 November 2017, yakni ”Muhammadiyah Merekat Kebersamaan”.


Sumber: republika.co.id
Sebelumnya
Berikutnya

Penulis:

0 comments: