“Saya masih teringat dalam satu kongres, kaki saudara Udin terletak
di atas dada Mr. Kasman, dengan tidak sengaja lantaran kepayahan sesudah rapat.
Dan kepala saudara Sudirman (almarhum Jenderal Sudirman), satu bantal dengan
kepala saudara Muljadi Djojomartono. Dan saudara Tjitrosuwarno gelisah
mendengar keruh (dengkur) saudara H. Abdullah dari Makassar.” (Tulisan Hamka
yang dimuat di (Suara [?]) Muhammadiyah Nomor 31 Januari 1953)
Cerita ini, ketika saya baca langsung menyentuh relung hati saya
yang paling dalam. Otak saya berfikir dan menggambarkan kondisi saat itu yang
sangat jelas di ceritakan oleh Buya Hamka. Hati saya saya pun langsung rindu
untuk mengalaminya dan ingin berada dalamnya. Suasana dengan penuh
kesederhanaan dan penuh semangat dalam ber-Muhammadiyah. Otak saya terus saja
berfikir, mungkin saking sederhananya fenomena itu bisa terjadi. Ruang yang
sempit, ini tergambar jelas dengan adanya kaki yang naik ke dada Mr. Kasman.
Serta minimnya fasilitas seperti kurangnya bantal sehingga harus satu bantal
dua orang.
Hari ini, menjelang satu abad Muhammadiyah, cerita itu sepertinya
hanya akan menjadi kenangan. Cerita yang suatu saat akan menjadi dongeng
penghias tidur anak cucu kita kelak. Megapa? Karena memang Muhammadiyah telah
berubah. Perubahan itu ditandai dengan adanya gejala elitisme gerakan di
pengurus Muhammadiyah. Banyak kita saksikan pimpinan Muhammadiyah yang
membentuk dirinya menjadi kaum elit, atau membangun citra elit dalam dirinya.
Sehingga mereka yang berada pada tataran struktural paling bawah dalam persyarikatan
memandangnya seolah sangat tinggi.
Harus kita akui bahwa Muhammadiyah memang megah dari luar, tapi
keropos dari dalam. Kekurangan kader merupakan contoh real yang suatu saat
membuat Muhammadiyah hanya tinggal nama. Anehnya gejala ini seolah hanya sebuah
cerita tanpa penyelesaian yang serius. Melihat Muhammadiyah yang akan datang,
lihatlah kader Muhammadiyah hari ini, sayangnya kader yang disiapkan itu
kurang, malah tidak ada. Perhatian terhadap pembinaan kader ini yang mesti dan
segera menjadi prioritas gerakan kita.
Menjelang satu abad memang kita mesti berbenah, belajar dari
sejarah adalah salah satu jalannya. Ketika saya membayangkan menjadi bagian
dalam cerita Buya Hamka tadi, maka saya akan memilih tidur satu bantal dengan
Jenderal sudirman yang menjadi idola saya sejak kecil. Atau dengan Mr. Kasman
agar seluruh isi otaknya yang penuh muatan ilmu bisa saya pindahkan ke kepala
saya.
Saya juga sering melihat para pimpinan Muhammadiyah seolah menjadi
kaum elit, susah ditemuin, orientasi gerakan yang tidak lahir dari semangat
para founding father. Belum lagi pada tataran pimpinan amal usaha. Saya sering
mengurut dada karena banyaknya pimpinan amal usaha yang membuat dirinya bak
raja. Tidak nurut dengan pimpinan persyarikatan, bahkan ada yang berani
melawan. Sungguh kehidupan bermuhammadiyah yang membuat semangat saya runtuh
seketika.
Jujur, secara pribadi rindu dengan sosok seperti Pak AR. Sosok yang
sangat zuhud, memandang kehidupan dengan begitu sederhana sehingga kehidupan
setenang air yang mengalir. Potret kehidupan seperti yang di gambarkan Buya
memang sudah tidak ada, alasannya mungkin karena zaman telah maju, fasilitas
sudah lengkap dan sayang jika tidak digunakan. Namun menjadi diri yang
sederhana dan bersahaja di tengah pusaran globalisasi merupakan mutiara di
tengah kubangan lumpur. Saatnya memang kita kembali kepada ruh perjuangan yang
sudah ditanamkan sejak dulu. Orientasi profit harus kita buang jauh-jauh,
karena Muhammadiyah lahir ditengah kesulitan masyarakat akiibat penindasan penjajah.
Orientasi sosial dan dakwah mesti menjadi prioritas utama. Mudah-mudahan
sekolah Muhammadiyah yang mahal hanya cerita dongeng belaka, dan sekolah murah
dan berkualitas betul-betul menjadi realita dan bukan dongeng.
Di akhir tulisan Hamka menyebutkan, “Segala kesulitan telah pernah
kita atasi, dengan sikap diam, tenang dan maaf. Ketahuilah bahwa Indonesia ini
masih banyak “adik-adik” yang harus kita didik dengan keteguhan hati. Sjiblih
berkata, ‘Teladanlah kayu di rimba. Dilempar orang dia dengan batu. Lalu
dibalasnya dengan buah. Sebanyak batu naik, sebanyak buah turun.”
Sumber: www.pcpmminggir.blogspot.com
0 comments: